Friday, July 13, 2012

(Sharing seorang teman) – Cinta tidak selalu harus berwujud “bunga”



Suami saya adalah seorang yang sederhana…. saya mencintai sifatnya yang alami dan menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya ketika bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan dan dua tahun dalam masa pernikahan…. saya akui bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus.
Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen.
Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang.
Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari.... saya memberanikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa?", tanya suami saya dengan terkejut.
"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan," jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah…. seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya…. apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Dan akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya".

"Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?"

Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya... dia tidak ada di rumah dan saya menemukan selembar kertas dengan tulisan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ......

"Sayang… saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya".

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.

Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal".

"Kamu senang diam di rumah dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami".

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu".

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu".

"Tetapi Sayang…. saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir”.

"Sayang… saya tahu ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang…. jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu".

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur… tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang Sayang…. kamu telah selesai membaca jawaban saya”.

"Jika kamu puas dengan semua jawaban ini dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita…. saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu".

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini Sayang..... biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah… bahagia saya adalah bila melihatmu bahagia".

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan saya.

Oh…. kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.

Itulah cinta…. di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan…. maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga"

Odol dari Tuhan


Kisah nyata dari seseorang ... yang episode hidupnya sempat dilewati di dalam penjara.

Bermula dari hal yang sepele.
Lelaki itu kehabisan odol di penjara. Malam itu adalah malam terakhir bagi odol di atas sikat giginya. Tidak ada sedikitpun odol yang tersisa untuk esok hari. Dan ini jelas-jelas sangat menyebalkan.
Istri yang telat berkunjung, anak-anak yang melupakannya, diabaikan oleh para sahabat, muncul menjadi kambing hitam yang sangat menjengkelkan.

Sekonyong-konyong lelaki itu merasa sendirian, bahkan lebih dari itu : "Tidak berharga!"

Tertutup bayangan hitam yang kian membesar dan menelan dirinya itu, tiba-tiba saja pikiran nakal dan iseng muncul. Bagaimana jika ia meminta odol pada Tuhan ?
Berdoa utk suatu kesembuhan sudah berkali-kali didengar. Meminta dibukakan jalan keluar bukan sesuatu yang asing. Begitu pula dengan doa-doa kepada orang tua yang telah berpulang, terdengar sangat gagah untuk diucapkan.

Tetapi meminta odol kepada Sang Pencipta… jutaan bintang gemintang dan ribuan galaksi ...tentunya harus dipikirkan berulang-ulang kali sebelum diutarakan. Sesuatu yang sepele dan mungkin tidak pada tempatnya.
Tetapi apa daya, tidak punya odol untuk esok hari… entah sampai berapa hari, menjengkelkan hatinya amat sangat. Amat tidak penting bagi orang lain, tetapi sangat penting bagi dirinya. Maka dengan tekad bulat dan hati yang dikuat-kuatkan dari rasa malu, lelaki itu memutuskan untuk mengucapkan doa yang ia sendiri anggap gila itu.

Ia berdiri ragu-ragu di pojok ruangan sel penjara, dalam temaram cahaya, sehingga tidak akan ada orang yang mengamati apa yang ia lakukan.
Kemudian dengan cepat, bibirnya berbisik: "Tuhan, Kau mengetahuinya… aku sangat membutuhkan benda itu".
Doa selesai... Wajah lelaki itu tampak memerah. Terlalu malu bibirnya mengucapkan kata “amin”.

Peristiwa itu berlalu begitu cepat, sehingga lebih mirip dengan seseorang yang berludah di tempat tersembunyi. Tetapi walaupun demikian ia tidak dapat begitu saja melupakan insiden tersebut. Sore hari diucapkan, permintaan itu menggelisahkannya hingga malam menjelang tidur. Akhirnya, lelaki itu tertidur walau dengan susah payah.

Tepat tengah malam, ia terjaga oleh sebuah keributan besar di kamar selnya.
"Saya tidak bersalah Pak !!!, teriak seorang lelaki gemuk dengan buntalan tas besar di pundak, dipaksa petugas masuk ke kamarnya,
" Demi Tuhan Pak !!! Saya tidak salah !!! Tolong Pak... Saya jangan dimasukkan kesini Paaaaaaaak!!!"

Sejenak ruangan penjara itu gaduh oleh teriakan ketakutan dari "tamu baru" itu.
"Diam!!" bentak sang petugas.

“Semua orang yang masuk ke ruangan penjara selalu meneriakkan hal yang sama!! jangan harap kami bisa tertipu !!!"
"Tapi Pak...".

*Brrrraaaaaang!!!*
Pintu kamar itu pun dikunci dengan kasar. Petugas itu meninggalkan lelaki gemuk dengan buntalan besarnya itu yang masih menangis ketakutan.
Karena iba, lelaki penghuni penjara itu menghampiri teman barunya. Menghibur sebisanya dan menenangkan hati lelaki gemuk itu. Akhirnya tangisan mereda, karena lelah dan rasa kantuk ... mereka berdua pun kembali tertidur pulas.

Pagi harinya, lelaki penghuni penjara itu terbangun karena kaget. Kali ini karena bunyi tiang besi yang sengaja dibunyikan oleh petugas. Ia terbangun dan menemukan dirinya berada sendirian dalam sel penjara.
Lho mana si gemuk, pikirnya. Apa tadi malam aku bermimpi ya ? Ah masa iya, mimpi itu begitu nyata ?? Aku yakin dia di sini tadi malam.

"Dia bilang itu buat kamu !!", kata petugas sambil menunjuk ke buntalan tas di pojok ruangan.
Lelaki itu segera menoleh dan segera menemukan benda yang dimaksudkan oleh petugas. Serta merta ia tahu bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.

"Sekarang dia di mana Pak ?", tanyanya heran.
"Ooo dia sudah kami bebaskan, dini hari tadi, biasa salah tangkap !", jawab petugas itu enteng.
“Saking senangnya orang itu bilang tas dan segala isinya itu buat kamu".

Petugas pun pergi.
Lelaki itu masih ternganga beberapa saat, lalu segera berlari ke pojok ruangan ingin memeriksa tas yang ditinggalkan si Gemuk untuknya.
  
Tiba-tiba saja lututnya terasa lemas. Tak sanggup ia berdiri.
"Ya... TUHAAAANNN!!!", laki-laki itu mengerang.
Ia tersungkur di pojok ruangan, dengan tangan gemetar dan wajah basah oleh air mata. Lelaki itu bersujud di sana, dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu.

Di sampingnya tergeletak tas yang tampak terbuka dan beberapa isinya berhamburan keluar. Dan tampaklah lima kotak odol, sebuah sikat gigi baru, dua buah sabun mandi, tiga botol sampo dan beberapa pakaian sehari-hari.


Tuhan tidak berjanji akan memenuhi semua keinginan kita…
Tetapi Ia akan selalu memenuhi setiap kebutuhan kita… dengan cara apapun... yang terkadang tidak terselami oleh akal pikiran kita.... 

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat; Aku akan memberi kelegaan kepadamu”


"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari ini?" Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal.
"Ya Tuhan," aku menangis, "biarkan aku tidur. Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali!"

Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan, tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku. Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar. Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu. Sesosok pria berdiri di depan salib.

"Anakku," orang itu bertanya, "mengapa engkau datang kepadaKu sebelum Aku siap memanggilmu?"

"Tuhan, aku mohon ampun. Ini karena... aku tidak bisa melanjutkannya. Kau lihat betapa berat hidupku. Lihat beban berat di punggungku. Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi."

"Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

"Aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

"AnakKu, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

"Aku bisa melakukan hal itu?"

Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kakiNya. "Kau bisa mencoba semua ini."

Semua salib itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

"Itu punya Ruri", kataku. Ruri menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus. Kadang kala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak.
"Umm, aku coba punya Ruri”. Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Ruri panggul? pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Ruri di pundakku. Aku langsung terjatuh seketika.
"Lepaskan beban ini!" teriakku. "Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?"

"Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Ruri, dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Ruri mulai berbicara, "Ruri, kau tidak pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu. Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku..."

Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Dika, adik terkecil Ruri. Kepala Dika dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu.
Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Ruri. Ia kecanduan narkoba, telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

"Aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya..."

"Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa. Beban Dini terasa sangat berat juga : Ia memelihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. Rani punya juga demikian : masa kecilnya yang dinodai olah penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan. Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut, dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

"Beban mereka semua sangat berat, Tuhan" kataku. "Kembalikan bebanku"

Ketika aku mulai memasang bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.
"Mari kita lihat ke dalamnya," Tuhan berkata.

Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat. "Itu bukan ide yang baik," jawabku,

"Mengapa?"

"Karena banyak sampah di dalamnya."

"Biar Aku lihat"

Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku membuka bebanku.

Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku. "Katakan kepadaKu mengenai hal ini."

"Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang.
Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi. Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas."

"AnakKu, Aku selalu memberikan kebutuhanmu.... dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu."

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki. "Dan yang ini?" tanya Tuhan.

"Andre..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.

"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya..."

"AnakKu," Tuhan berkata. "jika kau percayakan kepadaKu, aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan Roh Kudus, aku akan memberikan engkau kesabaran."

Kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.

"Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang.

"Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus. Aku tidak mampu untuk pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku!"

"AnakKu, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan Roh Kudus, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu. Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan, seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu.

Itulah yang berharga di mataKu."

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya. "Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang," kataku,

"Yang terakhir, berikan kepadaKu batu bata yang terakhir." kata Tuhan.

"Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya."

"AnakKu, berikan kepadaKu." Kembali suaraNya membuatku luluh. Ia mengulurkan tangaNya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat lukaNya.

"Tetapi Tuhan, bebanku ini kotor dan mengerikan, jadi Tuhan....Bagaimana dengan tanganMu? TanganMu penuh dengan luka!!"

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat wajahNya untuk pertama kalinya. Dan pada dahiNya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan," aku berbisik. "Apa yang terjadi dengan Engkau?"

MataNya yang penuh kasih menyentuh kalbuku.

"AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya."

"Bagaimana?"

"Dengan darahKu"

"Tetapi kenapa Tuhan?"

"Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tanganNya yang terluka. Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku : kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

"Sekarang anakKu, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang."

"Ya, Tuhan, aku akan memanggilMu."

Aku mengambil kembali bebanku.

"Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu, yaitu Ruri, Dini, Rani, Ruth... Ketika kau meninggalkan bebanMu di sini, aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang. Namun, masih kudengar suaraNya berbisik, "Aku tidak akan meninggalkanmu… ataupun melepaskanmu."

Saat itu, aku merasakan damai sekali di hatiku.


“Datanglah kepada-Ku kamu semua yang lelah, dan merasakan beratnya beban; Aku akan menyegarkan kamu. Ikutlah perintah-Ku dan belajarlah daripada-Ku. Sebab aku ini lemah lembut dan rendah hati, maka kamu akan merasa segar. Karena perintah-perintah-Ku menyenangkan, dan beban yang Kutanggungkan atasmu ringan”.
( Matius 11:28-30 )



“Dan ingatlah Aku akan selalu menyertai kalian sampai akhir zaman”.
( Matius 28 : 20b )

Saturday, July 7, 2012

PSALM 23


Tuhan adalah gembalaku 

à HUBUNGAN AKRAB


takkan kekurangan aku  
à PENYELENGGARAAN

Ia membaringkan aku di padang yg berumput hijau 
à ISTIRAHAT

Ia membimbing aku ke air yg tenang 
à PENYEGARAN
Ia menyegarkan jiwaku 
à PENYEMBUHAN LUKA BATIN

Ia menuntun aku di jalan yg benar 
à BIMBINGAN

.... oleh karena Nama-Nya 
à SASARAN JELAS

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman 
à PENCOBAAN

... Aku tidak takut bahaya ... 
à PERLINDUNGAN

... sebab Engkau besertaku 
à KESETIAAN

GadaMu dan tongkatMu, itulah yg menghibur aku 
à DISIPLIN

Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku 
à HARAPAN

Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah 
à KELIMPAHAN

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku
à  BERKAT

Dan aku akan diam di rumah Tuhan 
à KESENTOSAAN

... sepanjang masa 
à HIDUP ABADI